Selasa, 27 Agustus 2013

Mengupas Bidadari Surga Menurut Ali-Shabuni

Mengupas Bidadari Surga Menurut Ali Al-Shabuni

Penciptaan Bidadari

Dalam masalah penciptaan bidadari, al-Sābūnī tidak membahasnya secara luas, dan juga tidak menyampaikan pemikirannya secara rinci, kecuali sedikit yang diambil dari riwayat Ibn Abbas dan hadīs Ummu Salāmah, sehingga penjelasan al-Sābūnī dalam hal ini, tidak bisa betul-betul menjawab bagaimana proses bidadari diciptakan. Oleh karenanya, dalam hal ini penulis akan membandingkan sedikit penafsiran al-Sābūnī tentang ayat yang terkait dengan penciptaan bidadari dengan pendapat Ibn Qayyim.

Hanya saja yang perlu digarsibawahi dari pendapat al-S{ābūnī mengenai penciptaan bidadari di surga adalah, bahwa al-S{ābūnī mengakomodasi pendapat yang menyatakan bahwa sebagian bidadari berasal dari wanita mukminat di dunia, bahkan dijadikan lebih cantik.[1]

Al-Sābūnī menjelaskan penciptaan bidadari ini ketika memberikan tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:35-38.[2] Al-S{ābūnī menyatakan bahwa maksud firman “innā ansya’nāhunna insyā’” adalah bahwa “Aku jadikan wanita-wanita surga itu sosok yang baru, yang pembuatannya sangat mengherankan.”[3] Sifat menta’ajubkan ini terjadi karena –sebagaimana telah dipaparkan di atas-proses penciptaan maupun jenis makhluk yang diciptakan bersifat “baru”, sehingga masih asing bagi makhluk yang berasal dari dunia.

Al-Sābūnī dengan mengutip Ibnu Jazi dalam kitabnya al-Tashil fi ‘Ulūm al-Tanzīl menyatakan bahwa makna insya’ al-nisa yaitu Allāh menciptakan mereka sebagai makhluk baru yang sangat cantik tidak seperti di dunianya. Di surga nanti, walau ketika di dunia telah menjadi seorang nenek-nenek, ia akan kembali menjadi muda, serta tidak memiliki cacat dalam rupanya, ia akan berubah menjadi gadis yang cantik mempesona.[4] Dengan mengutip Ibnu Abbas dari Tafsīr al-Khāzin, al-Sābūnī mempertegas pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa nenek-nenek yang sudah lanjut usia, ompong dan kempot (tidak punya gigi lagi) akan dijadikan oleh Allāh kembali perawan sebagai makhluk yang sama sekali sudah lain.[5]

Demikian pula, perempuan yang di dunia sudah dijima’ oleh suaminya, oleh Allāh akan dijadikan perawan, hanya kembali mencintai suaminya, serta sangat menggairahkan, dan usianya sepadan dengan suaminya, yang rata-rata 33 tahun.[6] Nampak di sini bahwa al-Sābūnī meletakkan konsep bidadari yang berasal dari perempuan mukminat di dunia, sehingga dalam hal penciptaan bidadari ini, al-Sābūnī hanya membahas bidadari yang berasal dari wanita sālihat di dunia, tidak membahas bidadari yang khusus diciptakan di akhirat. Sehingga penafsiran al-Sābūnī pada ayat-ayat ini dan yang seperti ini, tidak bisa dikaitkan dengan penafsirannya yang memberikan makna hūr secara netral kelamin.

Terkait dengan ayat tersebut, al-Sābūnī juga mengutip hadīs terkenal yang berasal dari Ummu Salāmah, bahwa ketika Nabi ditanya mengenai bidadari surga, Nabi menjawab, “mereka adalah wanita-wanita dunia yang di saat kematiannya mereka dalam keadaan lanjut usia, kempot, ompong dan bungkuk, yang dijadikan Allāh kembali dalam usia yang sama.”[7]

Al-Sābūnī juga meriwayatkan hadīs yang menginformasikan tangisan seorang wanita tua, ketika Rasūlullāh menyatakan bahwa orang yang sudah tua tidak bisa masuk surga. Wanita tersebut memangis karena merasa peluangnya masuk surga tidak ada karena usianya yang sudah tua. Lalu nabi pun memberitahukan bahwa ia nanti akan masuk surga bukan dalam keadaan lanjut usia, karena Allāh telah berjanji bahwa para wanita akan dijadikan kembali perawan dan berusia muda.[8]

Jadi jelas bahwa penjelasan al-Sābūnī mengenai penciptaan bidadari hanya menyangkut bidadari yang berasal dari wanita sālihah dunia, tidak termasuk bidadari yang khusus dicipta di surga. Memang sejauh informasi al-Qur`ān, tidak terdapat ayat yang mengetengahkan atau mengisyaratkan tentang bagaimana bidadari surga diciptakan.

Berbeda dengan al-Sābūnī, Ibnu Qayyim menggali banyak riwayat mengenai penciptaan bidadari yang tidak berasal dari wanita dunia. Dengan mengumpulkan berbagai informasi ‘ulamā’ dan hadīs Nabi, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa bidadari surga diciptakan dari za’faran, khususnya yang diperuntukkan bagi para wali Allāh, yang disediakan pengantin yang tidak pernah dilahirkan oleh Adam dan Hawwa’.[9] Sehinga karena bahan baku dari za’faran tersebut, maka bidadari surga memancarkan cahaya dan sinar gemerlap yang mempesona siapapun yang melihatnya. Sementara mereka semua telah bersiap menunggu suami-suaminya di pintu surga.[10] Demikian menurut Ibn Qayyim.

Tentu sampai di sini justru diketemukan kelebihan dari al-Sābūnī dalam memberikan tafsīran atas ayat-ayat Tuhan. Al-Sābūnī hanya menggunakan riwayat-riwayat yang jelas dan mutawātir, dan tidak mau menggunakan riwayat yang bersifat dugaan, cerita, mitos, tidak mutawātir, serta mengundang polemik. Nampak bahwa al-Sābūnī ingin membiarkan al-Qur`ān bercerita mengenai isi dirinya sendiri.

Perbedaan antara Pelayan Surga

dan Bidadari

Al-Qur`ān dalam Qs. Al-Rahmān secara jelas membedakan antara pelayan surga dengan bidadari. Bidadari bukanlah pelayan surga, namun ia merupakan makhluk khusus yang memiliki jenis pelayanan surgawi yang khusus pula.

Penyebutan pelayan-pelayan surga juga dibedakan secara tersendiri dengan bidadari surga. Dalam al-Qur`ān, terdapat dua ayat pokok mengenai pelayan surga, satu ayat disebutkan secara mandiri, tidak memiliki rangkaian ayat dengan penyebutan bidadari, dan satu ayat lainnya disebutkan dengan berangkaian dengan ayat-ayat tentang bidadari.

Istilah yang dipakai al-Qur`ān mengenai masalah pelayan surga adalah “wildānun mukhalladūn”. Wildānun berarti anak-anak muda. Berdasarkan akar katanya, mukhalladūn memiliki dua arti, namun tetap mempunyai muara makna yang sama. Pertama berasal dari kata al-khuld yang artinya baka atau abadi, kekal, tidak mati selama-lamanya.[11] Dan kedua dari kata al-khildah dengan jamak khilādun berarti orang yang mengenakan anting dan gelang. Ini merupakan simbol bagi pelayan-pelayan abadi. Dalam istilah Arab julukan (laqab) “mukhalladūn” dikenakan bagi orang yang lanjut usia tetapi tidak beruban, giginya terjaga, tidak rontok.[12] Jadi wildānun mukhalladūn diterjemahkan sebagai pelayan-pelayan muda yang tetap dalam kemudaannya.[13]

Ayat tentang pelayan surga yang berdiri sendiri adalah Qs. Al-Insan:19:

“Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.” (Qs. Al-Insan:19).

Sedangkan ayat yang berangkai dengan ayat-ayat tentang bidadari adalah Qs. Al-Wāqi’ah:17-18:

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir.” (Qs. Al-Wāqi’ah:17-18).

Terhadap ayat tersebut al-Sābūnī menafsirkannya “terhadap mereka selalu didampingi pelayan yang berkhidmat yang terdiri atas anak-anak muda di sekelilingnya, mereka tidak pernah mati dan tidak pernah berubah.”[14] Sifat utama para pelayan surga itu adalah: terdiri atas anak-anak muda, selalu berkhidmat terhadap penghuni surga, selalu siap memberikan pelayan sesuai keinginan penghuni surga (mengelilingi para penghuni surga), tidak berubah keadaan kemudaannya, belum pernah terjamah atau tersentuh oleh apa dan siapapun (maknūn), sangat rupawan, tidak mati,[15] selalu dalam pekerjaan pelayanan yang ditunjukkan dengan ayat bahwa mereka selalu berhiaskan gelas minuman, beserta cerek dan slokinya. Diberikannya pelayan-pelayan tersebut, menurut al-S{ābūnī memang dikhususkan bagi orang beriman dikarenakan perilaku al-abrārnya sewaktu di dunia.[16]

Sedangkan sifat para pelayan surga yang diibaratkan sebagai mutiara yang bertaburan mengisyaratkan bahwa para pelayan tersebut memiliki kebeningan kulit yang memukau dan kebagusan wajah yang mempesona. Mengutip al-Rāzī, al-Sābūnī menyatakan bahwa pernyataan itu mengandung tasybīh al-‘ajīb, dengan mutiara yang bertebaran itu, maka keindahan dan keistimewaan mutiara semakin nampak kian nyata.[17]

Penafsiran al-Sābūnī tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim, bahwa ada dua hikmah besar mengapa pelayan surga dibuat bertebaran di mana-mana: pertama, menunjukkan bahwa para pelayan surga tidak pernah menganggur. Mereka mondar-mandir di surga dalam rangka berkhidmah kepada penghuni surga dan memenuhi keperluan mereka. Kedua, bahwa mutiara yang disebar di atas permadani dari emas dan sutra itu lebih indah di mata daripada dikumpulkan di satu tempat.[18]

Al-Sābūnī dalam tafsīrnya tidak menyebutkan bagaimana para pelayan surga diciptakan. Sedangkan Ibnu Qayyim menginformasikan bahwa dalam masalah ini, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa para pelayan surga diciptakan dari anak-anak muslim dunia yang meninggal dalam keadaan tidak memiliki kebaikan dan keburukan. Mereka menjadi pelayan surga karena di surga tidak ada proses kelahiran. Selain itu juga berasal dari anak-anak yang meninggal dunia di masa kecil. Pendapat kedua adalah, bahwa para pelayan surga diciptakan khusus di surga sebagaimana juga bidadari yang diciptakan khusus di surga. Inilah yang dipegangi oleh Ibnu Qayyim.[19]

Dari uraian tersebut jelas, bahwa al-Sābūnī membedakan antara bidadari dengan pelayan surga. Pelayan surga adalah terdiri atas anak-anak muda yang diciptakan di surga yang berfungsi bagi pelayan penghuni surga, termasuk melayani bidadari yang menjadi pasangan penghuni surga. Sementara bidadari adalah pasangan penghuni surga, dengan tugas menjadi tambahan kenikmatan bagi mereka. Kesamaannya dengan bidadari adalah bahwa mereka diciptakan khusus di surga, dan belum pernah tersentuh oleh apa dan siapapun.

Ciri-ciri Bidadari di Surga

Dalam menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri bidadari di surga, al-Sābūnī dalam penafsirannya tidak melebihi apa-apa yang diinformasikan olah al-Qur`ān. Ia hanya bersifat lebih memperjelas mengenai sifat bidadari menurut al-Qur`ān. Secara terperinci, sifat-sifat bidadari menurut al-Sābūnī adalah sebagai berikut:

1. Sosok pasangan yang suci. Menurut al-Sābūnī, bidadari di surga disucikan dari kotoran hissiyah maupun maknawiyah. Dalam hal ini, al-Sābūnī juga mengutip ‘ulamā’ lain yang menyebutkan bahwa bidadari disucikan dari kotoran haid, nifas, buang air maupun dahak. Namun al-Sābūnī menyambungnya dengan pernyataan bahwa wanita dunia mukminah di hari akhir lebih cantik dibanding bidadari.[20] Sehingga yang dimaksud suci dari haid, nifas dan kotoran kewanitaan lain adalah bidadari yang berasal dari wanita mukminah dunia. Secara tidak langsung, al-Sābūnī menekankan bahwa ada dua jenis bidadari di surga, yaitu: bidadari yang berasal dari dunia, yang menjadi pasangan suaminya dari dunia juga, jika sama-sama beriman; dan bidadari dan bidadara yang khusus diciptakan di surga. 2. Diciptakan abadi. Keabadian menjadi ciri yang menyatu bagi bidadari, sebagaimana keabadian alam akhirat. Menurut al-Sābūnī, keabadian inilah yang menjadi salah satu kunci kebahagiaan yang sempurna. Karena penghuni surga bersama pasangannya berada dalam tempat yang aman dan bersanding hidup dengan pasangan-pasangannya dalam buaian keabadian yang tiada pernah putus.[21] Dengan begitu keabadian akhirat menurut al-S{ābūnī, karena tiada putus, merupakan keabadian yang mutlak, tanpa batas waktu lagi, atau tiada dimensi ruang dan waktu yang membatasinya lagi. 3. Dipingit di dalam kemah mutiara. Al-Sābūnī berpendapat, bahwa maksud dari maqsūrāt fī al-khiyām, adalah bahwa bidadari di surga hanya berjalan-jalan keliling di sekitar kemah, bahkan lebih banyak berdiam di dalamnya, tidak keluar karena kehormatan dan kemuliaannya, dalam kemah yang terbuat dari mutiara yang memang disediakan untuk mereka. Mereka membatasi diri hanya dalam ruangan yang terbuat dari mutiara itu.[22] 4. Memiliki adab atau akhlak mulia. Bidadari di surga menurut al-Sābūnī, merupakan wanita-wanita sālihah yang memiliki akhlak yang sangat mulia di samping rupanya yang sangat cantik.[23] Jadi makna khairātun hisān, memiliki dua dimenasi; wajah yang jelita dan akhlak yang mulia. 5. Hanya untuk pasangannya sendiri saja. Bidadari di surga, menurut al-Sābūnī, memiliki sifat hanya membatasi pandangan matanya kepada pasangannya saja, dan tidak memandang yang lain, seperti keadaan wanita-wanita pencinta dan penyayang.[24] Jadi kekhususan pasangan menjadi ciri utama bagi bidadari surga. 6. Belum pernah tersentuh, terjamah, dan tersenggamai oleh siapapun. Salah satu sifat utama bidadari menurut al-Sābūnī adalah keperawanannya yang sejati. Belum pernah ada seseorangpun yang pernah manjamah dan menyenggamainya kecuali pasangannya di surga itu, baik dari manusia maupun jin. Mereka betul-betul perawan yang sejati (ting-ting).[25] Hanya saja nampaknya sifat ini dikenakan pada bidadari yang dicipta khusus di surga, menilik pernyataan bahwa belum pernah tersentuh oleh makhluk. Jika wanita mukminah di dunia, pasti sudah mengalami persentuhan dengan pasangannya di dunia, walaupun di akhirat dijadikan perawan sejati kembali. Namun kalimat al-S{ābūnī jelas menunjukkan kebelum-pernah disentuhnya bidadari itu sebelum di surga. Mengutip pendapat dari kitab al-Tashil, al-Sābūnī mengemukakan bahwa penyebutan kalimat lam yatmishunna insun walā jānn sebanyak dua kali dalam Qs. Al-Rahmān ini, pertama ditujukan bagi kelompok al-sābiqūn, dan yang kedua bagi kelompok ashāb al-yamīn. Jadi penggambaran sifat-sifat surga untuk masing-masing kelompok orang beriman memiliki perbedaan dan kekhususan sendiri-sendiri, surga bagi kelompok pertama lebih tinggi dibanding bagi kelompok yang berikutnya.[26] Sehingga menurut al-Sābūnī, tingkatan bidadari yang diberikan pun berbeda untuk masing-masing kelompok orang beriman. 7. Menyerupai mutiara yang paling mulia. Bahwa bidadari di surga, menurut al-Sābūnī menyerupai yāqūt dan marjān dalam kebeningan dan kemerah-merahannya (bersih dan sangat mulus) sampai-sampai tembus pandang.[27] Mengutip Qatadah, al-Sābūnī mengemukakan bahwa dalam bersih dan beningnya menyerupai yāqūt, sedang kemerah-merah-jambuannya (kecantikan yang tiada tara) menyerupai marjān. Segala sesuatu yang dimasukkan dalam yāqūt , pasti akan dapat dilihat dari semua sisi.[28] 8. Berada di tempat yang tinggi. Menurut al-Sābūnī, bidadari di surga berada di atas dipan atau ranjang yang tinggi, empuk, dan nyaman. Hal ini didasarkan pada hadīs riwayat Hakim yang menyatakan bahwa tingginya dipan itu seperti tingginya langit dengan bumi yang untuk mencapainya membutuhkan waktu selama limaratus tahun.[29] Namun bukan berati bahwa untuk mencapainya sulit. Mengutip al-Alūsi, al-Sābūnī menyatakan bahwa jika seseorang ingin naik turun dipan, maka dengan sendirinya dipan tersebut akan menyesuaikan diri. Jika seorang mukmin ingin naik, maka dipan tersebut akan turun, kemudian setelah orang tersebut naik, maka dipan itu akan mengangkatnya.[30] 9. Diciptakan sebagai makhluk yang sama sekali baru. Bidadari merupakan makhluk yang diciptakan khusus di surga, yakni berupa makhluk yang sama sekali baru dalam penciptaan, lagipula bersifat unik. Sehingga ia menjadi makhluk yang mampu mendatangkan keta’juban luar biasa. Keelokan dan keanehan penciptaan itu terjadi, karena memang berbeda sama sekali dengan segakla jenis ciptaan di dunia.[31] 10. Selalu dalam keadaan perawan. Sifat abkāra, oleh al-Sābūnī diberi makna tafsīr sebagai perawan ting-ting sepanjang masa. Setiap kali pasangannya mendatanginya, setelahnya langsung kembali perawan lagi.[32] 11. Memiliki kecintaan dan kerinduan menggebu kepada pasangannya. Para bidadari di surga memiliki semangat kecintaan serta kerinduan yang menggebu-gebu. Mengutip Mujahid, al-Sābūnī mengatakan bahwa salah satu sifat bidadari adalah agresif terhadap pasangannya, dalam hal bermain cinta.[33] 12. Berusia rata-rata muda. Menurut al-Sābūnī, bidadari di surga memiliki usia yang rata-rata muda, dan sama dengan pasangannya, yaitu berusia 33 tahun,[34] sebuah usia puncak kedewasaan dan usia yang sangat agresif dalam hal percintaan. 13. Kecantikannya dan kesuciannya tidak ada yang menyamai. Bahwa bidadari di surga memiliki kecantikan dan keelokan tiada tara, kebeningan yang sangat, demikian pula seperti mutiara yang tersimpan, kesuciannya yang belum pernah tersentuh.[35] al-Sābūnī mengutip hadīs Ummu Salāmah yang menggambarkan bahwa kejernihan hūrun ‘īn ibarat mutiara yang tersimpan di tengah lautan yang belum pernah tersentuh oleh tangan.[36] 14. Memiliki fisik yang sempurna. Bidadari di surga memiliki bentuk fisik yang paling sempurna, yang ditunjukkan dengan gairah yang tinggi dari keperawanannya, serta bentuk payudara yang menyembul keluar. al-Sābūnī memperkuat tafsīrnya ini dengan mengutip al-Tashil, bahwa kata al-kawā’ib merupakan bentuk jamak dari ka’ib yang memiliki arti dasar gadis perawan yang menonjol (keluar tegak) bentuk payudaranya.[37] 15. Usianya sama dengan suaminya. Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya (poin l) bahwa usia bidadari di surga setara dengan pasangannya. Tidak lebih dan tidak kurang.[38] 16. Selalu bersenang-senang dengan sumianya. Dijelaskan oleh al-Sābūnī bahwa orang-orang beriman akan masuk ke surga bersama pasangan-pasangan wanitanya (isterinya) yang beriman. Kemudian di dalam surga mereka berni’mat-ni’mat, bersenang-senang (istisrār), sehingga kebahagiaan itu memancar dari wajah-wajah mereka.[39] Sifat ini –sebagaimana diberikan tafsīrnya oleh al-Sābūnī –mengarah pada dua hal; bahwa bidadari dalam ayat ini adalah bidadari yang berasal dari wanita mukmin di dunia, yang bersama suaminya yang beriman bersama-sama masuk surga. Dan di dalam surga, mereka bersenang-senang sebagai suami isteri, di mana kata tuhbarūn, bermakna istimtā’ (hubungan badan). 17. Keanggunan yang sempurna. Bidadari di surga, baik yang dari wanita mukminah di dunia, maupun yang khusus diciptakan di surga, semuanya memiliki keanggunan yang tiada tara, (sehingga digelari hūrun ‘īn), sebagai deskripsi puncak tentang sosok yang rupawan dan dipenuhi segala kesempurnaan, demi memenuhi kebahagiaan para penghuni surga.[40] Kembali lagi di sini ditekankan oleh al-Sābūnī, bahwa julukan hūrun ‘īn adalah bersifat netral kelamin.

Bidadari dan Amal Perbuatan

Manusia

Dalam al-Qur`ān tidak semua informasi yang menyangkut surga selalu disertai dengan adanya bidadari di dalamnya. Informasi tentang surga yang disertai informasi adanya bidadari di dalamnya hanyalah menyangkut pada beberapa tempat, yang sekaligus mencantumkan informasi jenis sifat dan amal s}ālih tertentu dari orang beriman.

Sebelum membahas pendapat al-Sābūnī tentang hubungan bidadari dan amal perbuatan manusia, ada baiknya jika penulis kemukakan gambaran umum mengenai surga dari dalam al-Qur`ān. Dalam al-Qur`ān, jumlah ayat yang berkaitan dengan surga berjumlah 174, adapun yang berkaitan dengan kata dasar jannah berjumlah 159.

Istilah surga sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta suwarga yang bermakna tempat kebahagiaan puncak.[41] Sedang istilah tersebut digunakan oleh umat Islām untuk menerjemahkan kata jannah dalam bahasa Arab, yang arti harfiahnya adalah kebun, atau taman yang penuh keindahan,[42] sebagai tempat bagi orang-orang yang menemukan kebahagiaan kekal di akhirat.

Dalam Qs. Ali Imran3;15 Allāh melukiskan, bahwa surga terdiri dari sungai-sungai yang indah, kekal, bagi penghuninya tersediakan pasangan hidup (suami atau isteri) yang disucikan dan diridhai Allāh. Sifat keindahannya melebihi segala kenikmatan yang ada di dunia, walaupun itu mencakup keindahan hiasan wanita, anak-anak, harta dari emas maupun perak, kendaraan pilihan, binatang ternak maupun segala hewan piaraan serta sawah dan ladang.

Sehingga diingatkan bahwa surga itulah yang merupakan tempat kembali manusia yang terbaik. Bagi penghuninya disediakan mata air banyak yang mengalir serta menyejukkan penghuninya, dan setiap memasuki pintu-pintunya selalu disambut dengan ucapan “masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dari semua kesalahan lagi aman dari kematian serta dari hilangnya keni’matan,” dilenyapkan segala dendam maupun perasaan buruk, selalu merasa bersaudara dengan saling mencintai dan saling memuliakan, tidak ada lagi kelelahan, dan kebahagiannya bersifat abadi karena memang surga berwatak suci dan bahagia selamanya.[43]

Mereka semua mengenakan perhiasan dari gelang-gelang emas serta mutiara, di samping mengenakan sutra, dikarenakan dahulu di dunia mereka mematuhinya untuk tidak bermegah-megahan. Dan ini adalah sebagai penghargaan atas iman dan amal sālih} mereka (Qs. Al-Hajj 22;23).

Rumah-rumah mereka berupa edung-gedung bertingkat yang di bawahnya banyak mengalir sungai yang beraneka warna (Qs.Al-Zumar39;20). Sungai-sungai tersebut tidak pernah mengalami perubahan baik rasa dan baunya. Jenisnya sangat variatif, ada sungai-sungai air susu, sungai arak yang lezat dan tidak beralkohol, sungai-sungai madu yang disaring, dan juga disediakan segala kebutuhan dan keinginan akan buah-buahan sebagaimana pula disediakan segala ampunan (Qs. Muhammad 27;15).

Adapun penghuni surga adalah orang yang beriman dan beramal sālih}, yang tidak pernah tersentuh oleh neraka,[44] yang disebut sebagai kelompok al-su’adā’, orang-orang yang menemukan kebahagiaan (Qs. Hud11:108), yang berbahagia karena kebajikan-kebajikannya.[45]

Para penghuni surga itu disucikan dari segala dosa, segala keinginan terpenuhi, dimuliakan dengan segala kenikmatan, masing-masing orang memiliki tahta beserta hiasannya, dengan pelayanan minum-minuman yang sedap rasanya sesuai keinginan surgawi dalam piala-piala yang indah yang dibawakan oleh para bidadari yang “jinak” (Qs. Al-Sāffāt37; 40-49, 60-62). Di sinilah kaum mukmin memperoleh segala yang dikehendakinya (Qs. Qaaf50;35). Orang-orang beriman ini akan berkumpul kembali dengan keluargannya atau yang dikasihinnya di dunia dulu, jika memang sama-sama beriman, dan masing-masing tak ada yang pahalanya berkurang (walaupun mungkin di dunia dulunya sebagian amal dan do’anya, pahala diperuntukkan bagi keluarganya yang lain –Qs. Al-Tūr52;21). Dan tentu saja kebahagiaan tertinggi adalah diberikannya mereka wajah yang berseri-seri dan dengan wajah itulah mereka “melihat Tuhan” [ru’yah] (Qs. Al-Qiyamah75;22-23).

Surga diciptakan oleh Allāh tidak hanya satu jenis. Sejauh pernyataan harfiyah al-Qur`ān, surga berjumlah empat. Empat surga itu pun oleh Allāh diklasifikasikan dalam dua gambaran. Pertama, surga yang terdiri dari pohon-pohonan serta buah-buahan, memiliki dua mata air, segala buah dan makanan yang diinginkan berdatangan sendiri, penghuninya duduk dalam permadani sutra di bawah rerimbunan pepohonan dengan didampingi oleh bidadari yang belum/tidak pernah tersentuh, seperti permata yakut dan marjān. Di sinilah segala bentuk kebaikan dibalas (Qs. Al-Rahmān55;46-63).[46]

Kedua, surga berwarna hijau yang memiliki dua mata air yang memancar, penuh dengan buah-buahan terutama kurma dan delima, juga dihiasi dengan bidadari yang baik dan cantik jelita yang dipingit dalam ruang-ruang khusus, serta belum pernah tersentuh, dengan kesucian abadi, mereka bercengkerama dan duduk-duduk dalam tahta hijau berpermadani indah. Semua ini tidak lain adalah menunjukkan keagungan Allāh (Qs. Al-Rahmān55; 64-78). Nampaknya surga kedua inilah yang lebih realistis, dan inilah surganya para Nabi, syuhadā’, shiddīqin, dan sālihīn. Di bawah yang berwarna hijau, masih ada yang berwarna kuning, merah, putih dan hitam sesuai dengan derajat penghuninya.[47]

Surga tersebut hanyalah disediakan bagi orang yang bertaqwa, dan mereka senantiasa selalu berusaha dan berdoa. Dalam Qs. Ali Imran3;15-17 dicantumkan sebagian ahli-ahli surga yakni yang melakukan;

1. Berdo’a rabbanā innanā āmannā fagfirlanā żunūbanā waqinā ‘ażāb al-nār, 2. Shabar, 3. Qānitāt [ketaatan yang tidak pernah luntur], 4. Menafkahkan hartanya dijalan Allāh, 5. Selalu meminta ampun di waktu sahur (sebelum fajar mendekati subuh).

Jadi surga merupakan alat tukar yang diberikan Allāh hanya kepada orang-orang yang memberikan jiwa dan hartanya demi jihad Islām,[48] bertaubat, beribadat, selalu memuji Allāh, melawat untuk mencari ilmu dan berjihad serta berpuasa, selalu ruku’ dan sujud, mengerjakan ‘amar ma’rūf nahi munkar secara aktif serta selalu memelihara hukum-hukum Allāh (Qs. Al-Taubah9;111-112). Mereka itulah yang disebut sebagai golongan kanan yang paling dulu beriman (Qs. Al-Wāqi’ah56;8-10), yang sebagian besarnya adalah ummat terdahulu sebelum Rasūlullāh, dan sebagian kecil adalah umat Rasūlullāh Muhammad (ayat 13-14).

Bagi mereka akan diberi pahala; (1) tahta dari emas, (2) selalu akrab antara satu dengan yang lain, (3) selalu muda, (4) disediakan segala macam minuman yang tidak memabukkan dan tidak membosankan, (5) tersedia segala aneka buah-buahan yang tiada henti, (6) daging-daging segala hewan, (7) bidadari yang seperti mutiara tersimpan, (8) tidak ada perkataan buruk sama sekali kecuali ucapan salām dan dikelilingi pohon-pohon bidara tanpa duri serta pisang-pisang yang indah dan lebat, (9) diberi naungan yang luas dan indah, (10) air yang senantiasa tercurah, (11) kasur-kasur tebal dengan bidadari yang tetap perawan, sebaya serta penuh cinta dan kasih-sayang.

Allāh juga membuat tamsilan surga itu sebagai tempat bagi orang yang bertaqwa yang sungai-sungainya mengalir terus menerus, buah-buahannya tumbuh tanpa henti, dan kerindangannya menaungi dengan teduh (Qs. Al-Ra’d13:35). Sedangkan sungai-sungai itu tidak pernah rusak, sungai susunya tidak pernah berubah cita rasanya, sungai-sungai minuman yang lezat, sungai madu yang murni-bersih, segala macam, buah-buahan, dan disertai dengan penuhnya ampunan Allāh. Dan ini berkebalikan dengan kondisi neraka yang disiapkan konsumsinya dengan air yang mendidih dan api menggelegak (Qs. Muhammad 47:15).

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa janji surga yang diiringi dengan janji adanya bidadari di surga hanya menyangkut amal-amal tertentu, walaupun secara umum disebutkan bahwa hal itu teruntuk bagi orang beriman dan beramal sālih}.

al-S{ābūnī menyebutkan bahwa kabar gembira dengan surga yang teriring dengan janji pasangan bidadari diperuntukkan bagi orang beriman yang bertaqwa, menegakkan keimanan dan ketaqwaannya dengan perilaku sehari-hari,[49] dan di dunia termasuk orang yang muhsinun, yang merupakan hasil terkumpulnya watak keimanan dan amal sālih},[50] mengutamakan kebajikan dalam segala segi (al-abrār) dan mengataskan keataatan kepada Allāh,[51] yang dengan al-abrār serta al-‘amal al-sālih} itulah di akhirat wajah mereka akan diputihkan oleh Allāh.[52]

Keimanan mereka adalah suatu sikap pembenaran total atas ayat-ayat Allāh, yang dengan itu ia benar-benar berserah diri atas hukum-hukum Allāh serta semua perintah-Nya, dan berislām atas-Nya dengan menekadkan dalam hatinya untuk selalu mentaati-Nya.[53]

Bagi mereka, menurut al-Sābūnī, selain mendapatkan balasan berkumpul dengan keluarga, yakni isteri/suami (syarikahum) dan anak-anaknya, juga mendapatkan balasan bidadari sebagai pasangan dan pendampingntya.[54] Jadi, di sini secara jelas, al-Sābūnī membedakan antara isteri/suami bagi ahli surga dengan bidadari. Ini berarti al-Sābūnī memegang pendapat yang menyatakan bahwa bidadari khusus diciptakan di surga.

Karakter lain yang disebut al-Sābūnī, bagi hamba yang mendapatkan nikmat tambahan bidadari adalah seorang hamba yang di saat berdiri menyembah Tuhannya selalu merasa takut karena ia menghisab dirinya atas amalnya sendiri.[55] Sifat khāfa ini tentunya adalah sebagai efek ketaqwaan yang mendalam dalam diri seorang mukmin, yang disebut sebagai selalu berhati-hati dalam menjaga dan mensucikan kerimanannya,[56] sehingga keadaannya mendatangkan kekaguman dari Allāh dan penghuni langit.[57]

Dari hisabnya itulah, kemudian seorang beriman selalu berbuat kebajikan dengan penuh keikhlasan. al-Sābūnī juga menyatakan bahwa hamba yang mendapat karunia surga beserta bidadarinya adalah orang beriman yang dalam beribadahnya dihiasi dengan keikhlasan meng-Esakan Allāh (ikhlas tauhīd). Sehingga bukan karena dorongan takut akan ‘ażāb. Ia tidak pernah kendor dalam hisab pribadinya, tidak pernah bertambah kejelekannya, justru amal kebaikannya yang selalu meningkat.[58]

al-Sābūnī juga menyebutkan karakter; seseorang yang selalu menjadi pelopor atas kebaikan (al-khairāt) dan keadaban (al-hasanāt), baik dari kalangan umat era Nabi maupun dalam masa akhir, selalu mendekatkan diri kepada Allāh, di dalam kesendirian dunia, dalam naungan ‘arsy, dan di tempat ibadah yang dimuliakan,[59] atau tegasnya orang yang dalam ketaqwaannya berada dalam kepengikutan pola Rasūlullāh.[60] Merekalah penghuni tetap surga selamanya.[61] Sebab memang surga disediakan oleh Allāh bagi pemilik sifat di atas –disertai dengan jihad dan bertaubat- yang nikmat-nikmatnya tidak akan berakhir, kebahagiaan penduduknya tidak pernah surut dan segala apa yang diterima mereka tidak bisa dikira-kirakan, apalagi dihitung.[62] Sehingga penggambarannya hanya dapat dilakukan dengan simbol-simbol yang gampang dimengerti manusia.

Jadi terhadap pertanyaan, apakah semua orang beriman yang masuk surga pasti mendapatkan balasan bidadari? Maka dalam hal ini memang dalam tafsīr Safwah -nya, al-Sābūnī tidak pernah menyatakan secara tegas, namun melihat klasifikasi yang disebutkan di atas, nampaknya, jawabannya tidak semua yang masuk surga pasti mendapatkan bidadari. Hanya yang memiliki karakter amal sālihdi atas yang mendapatkan kelengkapan bidadari, sehingga inilah jawaban atas pertanyaan mengapa pahala bidadari disebut sebagai nikmat tambahan.

Klasifikasi tersebut juga mengisyaratkan bahwa yang terpenting bukanlah mendapatkan bidadarinya, akan tetapi jenis amal perbuatan yang menyebabkan seseorang mendapatkan kesempurnaan balasan dengan simbol bidadari itulah yang menjadi tujuan simbol tersebut.

Simbolitas ini semakin nampak, jika ditilik dari segi sastra. al-Sābūnī mengungkapkan bahwa balasan Allāh berupa bidadari yang elok dan belum pernah tersentuh, jelas merupakan bentuk penggambaran yang tidak menyebutkan sisi penggambarannya, oleh karena kata bantu penggambarannya tidak disebutkan pula maka dalam disiplin ilmu sastra arab disebut tasybīh-mursal-mujmal.[63]

Dengan simbolitas-simbolitas itulah, kesenangan manusia yang terpendam dalam dirinya diusik agar berubah menjadi motivasi positif bagi kehidupan keagamaannya. Maka pertanyaan Allāh yang diulang-ulang dalam Qs. Al-Rahmān menjadi sangat relevan, “ni’mat Tuhan yang mana yang bisa kamu dustakan?”. Menurut al-Sābūnī, pertanyaan ini mengandung teguran keras dan celaan,[64] karena tidak ada nikmat yang bisa didustakan, namun dalam prakteknya manusia banyak yang tidak mengaplikasikan. Jadi ruh ayat-ayat simbol tersebut bukan pada bentuk simbolnya, akan tetapi ruhnya adalah kata “ni’mat” sebagai balasan amal kebajikan di surga.[65]

[1] M. Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafāsīr, jl. I, hlm. 36.

[2] Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-Wāqi’ah 35-38).

[3] Safwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291.

[4] Ibid., hlm. 291.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid. Bandingkan dengan Tafsīr al- Qurtubī jl. 17, hlm. 210.

[8] Safwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291-292.

[9] Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Tamasya ke Surga, Terj. Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta: Darul Falah, cetakan ketujuh, 1424). hlm. 339-340.

[10] Ibid., hlm. 343-345.

[11] Firuzabadī, Op. Cit., hlm. 376.

[12] Ibnu Qayyim, Op. Cit. hlm. 308.

[13] Mushţafa Bisyri, al-Ubairiz fī Tafsīr Garāib al-Qur’ān al-‘Azīz, Pustaka Progresif, Surabaya, 2000. hlm. 313.

[14] M. Ali al-Sabuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 289.

[15] Bandingkan dengan Ibid., hlm. 470.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 309.

[19] Ibid., hlm. 310-311.

[20] M. Ali al-Sabuni, Op, Cit, jl. I, h.36.

[21] Ibid., hlm.36.

[22] Ibid., jl. III, hlm. 283.

[23] Ibid.

[24] Ibid., hlm. 282.

[25] Ibid.

[26] Ibid., hlm. 283-284.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid., hlm. 291.

[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibid., hlm. 290.

[36] Ibid.

[37] Ibid., hlm. 485.

[38] Ibid., hlm. 291.

[39] Ibid., hlm. 153.

[40] Ibid., hlm. 246.

[41] Muhammad Sholikhin. Berwisata ke Alam Akhirat, (Semarang: Risalah Pengajian Paguyuban ‘Arafah), 2001, hlm. 152.

[42] al-Marbawī, Qāmus Idrīs al-Marbawī ‘Arabī-Malayū, Dār Ihyā’al-Kutub al-‘Arabiyyah Indūnisia, t.t. hlm. 110.

[43] Qs. Al-Hijr15;43-48; lihat Muhammad ‘Alī al-Sābūnī. Safwah al-Tafāsīr Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzim, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 1999/1420), jl. II, h.112.

[44] Ibid., jl. I, hlm. 63.

[45] Ibid., jl. II, hlm. 35.

[46] Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hlm. 154-155.

[47] Ibid.

[48] M. Ali al-Sabuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 525-526.

[49] Ibid., jl. III, hlm. 165.; lihat juga jl. I, 172.

[50] Ibid., hlm. 36.

[51] Ibid., jl. III, hlm. 485.

[52] Ibid., jl. I, hlm. 202.

[53] Ibid., jl. III, hlm. 153.

[54] Ibid., hlm. 246.

[55] Ibid., hlm. 281.

[56] Ibid., hlm. 288.

[57] Ibid., juga hlm. 290.

[58] Ibid., hlm. 29.

[59] Ibid., hlm. 289.

[60] Ibid., hlm. 56.

[61] Ibid., jl. I, hlm. 232.

[62] Ibid., jl. I, hlm. 525; juga lihat Sayid Sabiq, al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr, Beirut, 1992, hlm. 302.

[63] Ibid., jl. III, hlm. 298; juga Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-Wadihah, hlm. 25.

[64] Ibid., jl. III, h.288.

[65] lihat misalnya Ibid., h.31 dan 282. Nampak bahwa pensifatan atas bidadari sebenarnya bukan mengacu kepada bidadarinya itu sendiri, tetapi justru ditujukan kepada ni’mat yang diterima oleh penghuni surga.

———-

Disarikan dari Skripsi berjudul Bidadari Surga Menurut Ali Al-Shabuni karangan Ali Murtadzo.

.
.copas....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar